Pendekatan Teologis dalam Studi Islam
A.
Pendahuluan
Agama sering dipahami
sebagai sumber gambaran-gambaran yang sesungguhnya tentang dunia ini, sebab ia
diyakini berasal dari wahyu yang diturunkan untuk semua manusia. Namun, dewasa
ini, agama kerap kali dikritik karena tidak dapat mengakomodir segala kebutuhan
manusia, bahkan agama dianggap sebagai sesuatu yang “menakutkan”, karena berangkat
dari sanalah tumbuh berbagai macam konflik, pertentangan yang terus meminta
korban. Kemudian sebagai tanggapan atas kritik itu, orang mulai mempertanyakan
kembali dan mencari hubungan yang paling otentik antara agama dengan
masalah-masalah kehidupan sosial budaya kemasyarakatan yang berlaku dewasa ini.
Apa yang menjadi kritik
terhadap agama adalah bahwa agama, tepatnya pemikiran-pemikiran keagamaannya
terlalu menitik beratkan pada struktur-struktur logis argumen tekstual
(normative). Ini berarti mengabaikan segala sesuatu yang membuat agama dihayati
secara semestinya. Struktur logis tidak pernah berhubungan dengan tema-tema
yang menyangkut tradisi, kehidupan sosial dan kenyataan-kenyataan yang ada di
masyarakat.
Melihat kenyataan
semacam ini, maka diperlukan rekonstruksi pemikiran keagamaan, khususnya yang
berkaitan dengan pendekatan-pendekatan teologis yang selama ini cenderung
normative, tekstual dan “melangit”, sehingga tidak bisa terjamah oleh manusia.
Oleh karena itu diperlukan pendekatan-pendekatan teologis yang kontekstual
“membumi”, sehingga dapat dinikmati oleh manusia dan tidak bertentangan
dengan kehidupan sosial budaya masyarakat yang ada. Berangkat dari hal
tersebut, maka dalam makalah ini akan dibahas mengenai, (1) apa pengertian
teologis dan pendekatannya dalam studi Islam?, (2) bagaimana sejarah dan akar munculnya teologi klasik?, (3) bagaimana membangun teologi kontemporer dan karakteristiknya yang
sesuai dengan perkembangan zaman saat ini?
B.
Pengertian Teologis
Teologi secara leksikal terdiri dari dua kata, yaitu “theos” yang berarti
Tuhan dan “Logos” yang berarti Ilmu.[1][1] Jadi teologi adalah
ilmu tentang Tuhan atau ketuhanan. Secara terminologi, teologi adalah ilmu yang
membahas tentang Tuhan dan segala sesuatu yang terkait dengannya,[2][2] juga membahas hubungan
Tuhan dengan manusia dan hubungan manusia dengan Tuhan.[3][3]
Dalam istilah Arab,
ajaran dasar itu disebut dengan usul al-din dan oleh karena itu buku yang membahas soal-soal teologi
dalam Islam selalau diberi nama kitab ushul al-din oleh para pengarangnya. Ajaran-ajaran dasar itu disebut
juga ‘aqaid, credos atau keyakinan. Teologi
dalam Islam disebut juga ilmu al-tauhid. Kata tauhid mengandung arti satu atau esa, dan keesaan
dalam pandangan Islam disebut sebagai agama monotheisme merupakan sifat yang
terpenting diantara segala sifat Tuhan. Selanjutnya teologi Islam disebut juga ‘ilmu
al-kalam.[4][4]
Sebenarnya “kalam”
dalam aqidah Islam adalah semacam ilmu atau seni.[5][5] Kalam dalam pengertiannya adalah “perkataan atau
percakapan”, dalam pengertian teologis kalam disebut sebagai kata-kata (firman) Tuhan, maka teologi
dalam Islam disebut ‘ilmu al-kalam, karena
kaum teolog Islam bersilat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan
pendirian masing-masing. Teolog dalam Islam memang diberi nama mutakallimin, yaitu ahli debat yang
pintar memakai kata-kata.
Menurut Amin Abdullah,
Teologi ialah suatu ilmu yang membahas tentang keyakinan, yaitu sesuatu yang
sangat fundamental dalam kehidupan bergama, yakni suatu ilmu pengetahuan yang
paling otoritatif, dimana semua hasil penelitian dan pemikiran harus sesuai
dengan alur pemikiran teologis, dan jika terjadi perselisihan, maka pandangan
keagamaan yang harus dimenangkan.[6][6]
Teologi Islam yang
diajarkan di Indonesia pada umumnya adalah teologi dalam bentuk ilmu tauhid. Ilmu tauhid biasanya kurang mendalam dalam
pembahasannya dan kurang bersifat filosofis. Selanjutnya, ilmu tauhid biasanya
memberi pembahasan sepihak dan tidak mengemukakan pendapat dan paham dari
aliran-aliran atau golongan-golongan lain yang ada dalam teologi Islam.
C.
Pendekatan Teologis
Pendekatan teologis ini
selanjutnya erat kaitannya dengan pendekatan normatif, yaitu suatu pendekatan
yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang
didalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam pendekatan
teologis ini agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan, tidak ada
kekuarangan sedikit pun dan tampak bersikap ideal. Dalam kaitan ini agama
tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas. Untuk agama Islam
misalnya, secara normatif pasti benar, menjunjung nilai-nilai luhur. Untuk
bidang sosial, agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan,
kejujuran, kesetiakawanan, tolong menolong, tenggang rasa, persamaan derajat
dan sebagainya.[7][7]
Pendekatan teologis
normative merupakan salah satu pendekatan teologis dalam upaya memahami agama
secara harfiah. Pendekatan normative ini dapat diartikan sebagai upaya memahami
agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu
keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling
benar dibandingkan dengan yang lainnya.[8][8]
Agama sebagai objek
penelitian mempunyai dua aspek, yaitu aspek historisitas dan aspek normatif.
Aspek historis menjadi objek penelitian sejarah agama dan fenomenologi
histroris. Sedangkan aspek normatif muncul sebagai kekuatan batin yang
memberikan pengakuan akan kebenaran untuk mengatur kehidupan individu dan
kehidupan sosial. Aspek normatif tersebut merupakan tugas teologi. Pendekatan
teologi semacam ini adalah normatif dan subjektif terhadap agama yang pada umumnya
dilakukan oleh penganut agama tertentu dalam usaha untuk menyelidiki agama
lain. Oleh sebab itu, ia selalu bersifat apologis.[9][9] yakni menyerang keyakinan agama lain untuk memperkokoh agama penganutnya.
Joach Wach berkomentar
bahwa apabila teologi bertugas untuk meneliti, memperkuat dan mengajarkan
kepercayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat agama, dan juga untuk
memperkokoh semangat dan gairah mempertahankan kepercayaan tersebut, maka ia
bertanggungjawab pula untuk membimbing dan memurnikannya. Selanjutnya dalam
teologi ada upaya untuk mencintai kebenaran, Namun harus membenci
ketidakbenaran. Akan tetapi tidak benar jika karena ingin memuji kepercayaan
sendiri, seseorang harus membenci dan menghina orang-orang yang memiliki
kepercayaan lain.[10][10]
Pendekatan teologis
agama dipandang sebagai keyakinan atau dogma Tuhan yang bersifat absolute.
Keyakinan ini bersifat subjektif dan particular. Dalam arti, bahwa suatu
kebenaran yang diyakini berlaku untuk orang-orang yang meyakini saja, sementara
orang yang di luar belum tentu meyakininya, atau bahkan menolaknya. Disebut
partikuler (bagian) karena keyakinan tersebut tidak berlaku secara universal
(umum), hanya bagi pemeluk agama tertentu. Karenanya, terdapat kepercayaan
hanya berbeda-beda, seperti teologi Islam, teologi Kristen, dan teologi Yahudi.[11][11]
Doktrin teologi macam
apa pun, bahkan juga studi agama-agama, secara historis-empiris yang manapun
tidak akan mampu memberi sumbangan pemikiran untuk melerai
ketertumpang-tindihan dan ketercampur-adukan antara dimensi doktrin-teologi dan
dimensi kesejarahan dalam wujud praksis sosial dan ketertumpang-tindihan antara
teks dan realitas. Bercampur-aduknya kepentingan golongan (baik dari segi
kepentingan ekonomi, politik pendidikan, sosial, budaya maupun pertahanan
keamanan) dengan doktrin-teologis, menjadikan hubungan antar umat beragama
semakin ruwet. Agak sulit sekarang untuk hanya secara pasrah mengkaji aspek
doktrinal-teologis dari suatu agama dengan melepaskan keterkaitannya dengan aspek
sosial praksis dan kultural-sosiologis yang menyertainya, dan begitu
sebaliknya. Keduanya sudah demikian membaur dan campur-aduk.[12][12]
Oleh sebab itu tidak
semua pendekatan teologi bersifat normatif, tetapi ada pula pendekatan teologi
yang bersifat dialogis, bahkan ada yang bersifat konvergensi. Adapun yang
dimaksud dengan pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang
terdapat dalam satu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami
agama.
Dalam hubungan ini,
dapat dipahami bahwa agama dapat diteliti menggunakan berbagai paradigma.
Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan
kerangka paradigmanya. Karena itu, tidak ada persoalan apakah penelitian agama
itu dikategorikan penelitian sosial, penelitian legalistik atau pendekatan
filosofis.[13][13]
Pendekatan Teologi
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan penelitian agama. Hal ini
dilakukan untuk menjawab persoalan apakah agama dapat diteliti. Sementara ahli
dan ulama, menurut Noeng Muhadjir, bahwa ilmu dan wahyu itu memiliki otonomi
dibidangnya masing-masing. Ekstremitasnya menimbulkan filsafat di antara para
ulama, dan menabukan non empirik dan non sensual diantara para ilmuan. Apapun
alasan yang dikemukakan, adalah bahwa pendekatan teologi dalam penelitian agama
dimaksudkan untuk menjembatani para pakar ilmu agama (ulama) dengan ilmuan
lainnya, karena pendekatan teologi dalam penelitian agama berada di kawasan
naqli atau wahyu dan ada yang aqli atau produk budaya manusia.[14][14]
D.
Sejarah
dan Akar Munculnya Teologi Klasik
Ilmu
kalam terbentuk sebagai ilmu tersendiri pada abad ke-2 H (8M) tepatnya pada
masa al-Makmun setelah ulama’ Mu’tazilah mempelajari kitab-kitab filsafat yang
diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Oleh karena itu para ahli menganggap pendiri
ilmu ini adalah kelompok Mu’tazilah. Melalui terjemahan-terjemahan itu, mereka
mempertemukan cara (sistem) filsafat dengan sistem ilmu kalam. Sejak saat
itulah dipakai perkataan al-Kalam untuk ilmu yang berdiri sendiri.[15][15]
Proses
terbentuknya ilmu teologi sangat terkait dengan situasi politik pasca
terbunuhnya ’Usman
ibn ’Affan r.a. saat itu kaum muslimin terpecah-pecah menjadi beberapa partai
yang masing-masing merasa sebagai pihak yang benar dan menganggap calon dari
golongannya yang berhak menjadai pemimpin umat islam. Kemudian partai-partai
itu menjadi partai agama dan mengemukakan dalil-dalil agama untuk membela pendiriannya, dan selanjutnya
perselisihan diantara mereka menjadi perselisihan agama dan berkisar pada soal
iman dan kafir. Menurut sebagian kecil umat islam saat itu, ’Usman ibn ’Affan r.a melakukan
kesalahan dalam memimpin, bahkan kafir. Pembununya berada di pihak yang benar.
Sebaliknya, pihak lain mengatakan pembunuh khalifah ’Usman r.a telah melakukan kejahatan
besar, oleh karena itu mereka berdosa besar dan kafir, mengingat beliau adalah
pemimpin umat islam yang sah. Dari sinilah mulai timbul persoalan besar yang
selama ini memenuhi buku-buku keislaman, yaitu persoalan dosa besar, iman dan
hakekatnya, dan persoalan kepemimpinan.[16][16]
Persoalan-persoalan
yang terjadi dalam lapangan politik sebagai digambarkan di atas inilah yang
akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi. Timbullah
persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang
telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Dari persoalan
dosa besar kemudian muncul persoalan sumber kejahatan atau sumber perbuatan.
Dari persoalan ini lahir beberapa aliran teologi. Aliran tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Aliran Khawarij, berpandangan bahwa orang berdosa
besar adalah kafir, dalam arti murtad oleh karena itu wajib dibunuh. Kaum
Khawarij memandang diri mereka sebagai orang yang meninggalkan kampung
halamannya untuk mengabdikan diri kepada Allah dan rasulnya.
2. Aliran Murji’ah, yang menegaskan bahwa orang yang
berbuat dosa besar tetap masih muknin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang
dilakukannya, terserah kepada Allah SWT untuk mengampuni atau tidak.
3. Aliran Mu’tazilah, aliran ini berpendapat bahwa
orang yang berbuat dosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mukmin. Namun
mereka terletak di antara dua posisi kafir dan mukmin. Dalam teologi
mu’tazilah, orang seperti ini dikatakan “tanzilu baina manzilatain.”
4. Aliran Qodariah, aliran ini terkenal dengan
pemikiran Free Will dan Free act (kebebasan berkehendak dan berbuat). Aliran
ini memiliki pandangan yang menyatakan manusia mempunyai kebebasan berkehendak
dan berbuat
5. Aliran Jabariah, aliran Jabariah berpandangan
manusia dalam segala tingkah lakunya bertindak atas dasar paksaan dari Allah
atau dengan kata lain manusia tidak mempunyai kemerdekaan menentukan kehendak
dan perbuatan.
6. Aliran Asy’ariah, aliran Asy’ariah merupakan aliran
teologi tradisional yang di susun oleh Abu Hasan al-Asy’ari (935 M). Pada
awalnya Abu Hasan al-Asy’ari merupakan orang Mu’tazilah yang merasa tidak puas
dengan teologi Mu’tazilah. Dalam satu riwayat keluarnya Abu Musa al-Asy’ari
dari Mu’tazilah dikarenakan ia pernah bermimpi bahwa Mu’tazilah di cap Nabi
Muhammad sebagai ajaran yang sesat.
7. Aliran Maturidiah, aliran yang didirikan oleh Abu
Mansur Muhammad Al-Maturidi (944 M).
Dalam perkembangan selanjutnya dua aliran terakhir
yakni Asyari’ah dan Maturidiah di kenal dengan nama aliran Ahlus Sunah Wal
Jamaah. Kedua aliran ini dibedakan dalam lapangan hukum Islam. Aliran Asyariah
lebih cenderung dengan pendekatan Imam Syafi’I, sedangkan aliran Maturidiah
cenderung pada pendekatan Imam Hanifah.[17][17]
1. Teologi Islam Klasik dan Fenomena Kekinian
Masuknya
filsafat Yunani dengan tuntutan rasionalnya berpengaruh besar di kalangan
masyarakat muslim dan menimbulkan kehausan akan pengetahuan filosofis,
kegelisahan untuk menjelaskan hal-hal yang diimani, dan keinginan untuk
mengkoordinasikan keseluruhan pengetahuan manusia. Walaupun suatu kenyataan
yang tidak dapat kita nafikan bahwa konflik politik di kalangan umat Islam
merupakan ”ragi” yang mewarnai tumbuhnya teologi Islam di masa awal.[18][18]
Hal
menarik yang dapat kita kemukakan di sini, bahwa dalam perkembangannya, teologi
Islam merupakan wujud respons terhadap semakin gencarnya penyebaran filsafat
Yunani dan unsur-unsur ajaran luar Islam yang ikut terlibat dalam pergumulan
pemikiran keislaman saat itu. Ideologi dan pemikiran-pemikiran filosofis itu
sedemikian luas penyebarannya sehingga ulama’ merasa perlu untuk mengantisipasi
kemungkinan tercemarnya akidah umat Islam. Mereka lalu menulis karya-karya yang
berisi antara lain argumen-argumen yang diharapkan dapat menjadi benteng bagi
akidah umat Islam dengan dalil-dalil yang ditawarkan tidak lagi hanya berkutat
pada dalil-dalil naqli tapi sudah mulai banyak melibatkan logika-logika
rasional.[19][19]
Dengan
kata lain, keberadaan teologi Islam merupakan fakta yang menunjukkan adanya sense
of social crisis para ahli terhadap realitas masyarakat. Pada saat itu umat
Islam sedang menghadapi problem perlunya upaya rasionalisasi terhadap
pokok-pokok akidah mereka akibat pengaruh mainstream pemikiran Yunani
yang mulai merambah umat Islam. Dapat dimaklumi jika pada saat itu persoalan
yang dibahas teologi Islam hanya berkutat dengan permasalahan-permasalahan yang
bersifat transenden-spekulatif.[20][20] Paradigma
pemikiran teologi Islam klasik lebih cenderung (tend) pada persoalan-persoalan al-mantiq,
al-thabi’iyat dan al-illahiyyat.[21][21]
Bangunan
keilmuan teologi Islam klasik nampaknya terus bertahan dan dikaji terus menerus
tanpa mengalami perubahan orientasi. Teologi Islam dalam pembahasannya hanya
berkutat pada persoalan-persoalan ”langit”. Kalau kita lihat dalam data
sejarah, kemenangan pemikiran teologi klasik atas pemikiran kritis-filosofis
seperti yang terjadi di seputar kontroversi antara al-Ghazali (w.1111 M) dan
Ibnu Sina (w. 1037 M) telah menjadikan pemikiran teologi seolah sebagai sesuatu
yang taken for granted sehingga tidak perlu kajian dan rumusan ulang.[22][22]
Adanya
”pembekuan” yang benih-benihnya telah ditebarkan oleh al-Ghazali adalah realitas
lain yang juga telah berpengaruh terhadap mandeknya pemikiran teologis dalam
Islam. Di samping itu, disebabkan karena kecenderungan para ahli untuk mengikut
pada para teolog awal dan juga adanya upaya penanggalan proses rasional yang
dipandang sebagai sesuatu yang sia-sia dan tidak relevan merupakan faktor yang
berperan juga dalam meneguhkan stagnasi pemikiran tersebut.[23][23]
Berkenaan
dengan al-Ghazali, kita tidak bermaksud menghakiminya sebagai penyebab
kemandegan pemikiran Islam. Hal di atas adalah sebuah ilustrasi akan hilangnya
peran vital semangat pemikiran kritis sebagaimana yang ditunjukkan atas kasus
perseteruan al-Ghazali dengan pakar lainnya. Para ahli setelah Beliau tidak
memandang produk pemikirannya tidak lain merupakan hasil pemikiran panjang dan
bersifat relatif serta merupakan respon terhadap perkembangan pemikiran pada
zamannya. Hal inilah yang sebenarnya yang penting untuk dipahami dalam membaca
realitas kesejarahan teologi Islam jika kita tidak ingin menjadikan pemikiran
Islam mengalami stagnasi.[24][24]
Dalam
perkembangan selanjutnya, kondisi sosial, budaya dan politik umat Islam sama
sekali berubah. Kemajuan peradaban Barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi, telah menimbulkan kegelisahan para pemikir Islam kontemporer.
Keprihatinan Arkoun, bersama-sama Fazlur Rahman, Muhammad Iqbal, juga Hasan
Hanafi untuk batas-batas tertentu, ditimbulkan oleh persoalan mengapa ilmu-ilmu
agama Islam, termasuk teologi Islam, masih ”berjalan di tempat”, baik dari segi
konstruksi epistemologi, metodologi maupun muatan isinya. Padahal kehidupan
manusia telah berubah sebegitu fantastisnya di samping juga problematika dan mainstroam
pemikiran kontemporer sangat berbeda dengan era klasik Islam.[25][25]
Wacana
pemikiran kontemporer yang saat ini sedang berkembang dan menjadi mainstream,
perlu dan harus direspons secara positif-kritis terutama dalam upaya untuk
menjawab berbagai problem yang sedang melanda umat Islam. Dengan demikian,
teologi Islam pada abad pertama yang lebih disibukkan dengan persoalan-persoalan
ghaib (metafisika) serta lebih banyak diwarnai oleh hal-hal yang
bersifat intelektual-spekulatif sudah saatnya ditelaah ulang.[26][26]
Para pemikir Islam tidak perlu lagi dituntut dan disibukkan untuk ”membela
Tuhan” ketika dilecehkan oleh filosof kontemporer misalnya dengan perkataan
”Tuhan telah mati!”, tetapi mereka justru ditantang untuk menyelesaikan
persoalan umat Islam secara lebih luas; pembebasan dari kolonialisme, pembagian
kekayaan secara lebih adil dan merata, kebebasan menyampaikan pendapat,
persatuan dan pemberdayaan kembali dari keterbelakangan.[27][27]
Oleh
karena itu, hal terpenting saat ini adalah bagaimana mengembalikan peran vital
yang telah diukir secara nyata oleh para ahli teologi Islam klasik terhadap
persoalan sosial yang melingkupinya. Berbagai persoalan umat Islam yang selama
ini mengedepan adalah sesuatu yang perlu direspons dan dicari jalan keluarnya
oleh para teolog muslim saat ini.
2.
Kritik
Terhadap Teologi Klasik
Teologi (ilmu kalam)
dalam khazanah intelektual Islam merupakan suatu ilmu yang memusatkan
pembicaraannya pada dan tentang Tuhan dengan segala dimensi-Nya. Ruang lingkup kajiannnya seputar kepercayaan
tentang Tuhan dengan segala segi-Nya, wujud-Nya, sifat-Nya, perbuatan-Nya,
keesaan-Nya dan semacamnya.[28][28] Jadi, dimensi kemanusiaan dalam teologi nyaris tak tersentuh. Kalaupun ada
di antara temanya menyentuh tentang
manusia, hanyalah dalam dimensi vertikal hubungan manusia dengan Tuhan.
Sebagaimana telah
diuraikan di atas, persoalan politik juga begitu besar pengaruhnya terhadap
munculnya persoalan teologi dalam Islam.
Kondisi politik, yaitu terbunuhnya para Khulafa’ Al-Rasyidin menjadi salah satu
sumber utama untuk perumusan konsepsi, kategorisasi dan definisi ilmu kalam
atau teologi. Iman, kufur, nifak, dosa besar, Qadariyah dan Jabariyah. Setelah
itu muncul pengakuan kelompok Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah,
Asy’ariyah dan sebagainya. Dalam keadaan seperti itu, para ilmuwan akidah
menyusun dan membukukan pengertian dan batasan-batasan ilmu kalam.
Sudah barang tentu bahan-bahan pertimbangan untuk pembakuan definisi-definisi
ilmu kalam amat sangat terbatas dari situasi seperti itu, dibandingkan dengan
bahan-bahan pertimbangan yang bisa diperoleh dari luar situasi pertikaian
politik.
Dengan
kata lain, paling tidak, proses pembakuan keilmuan teologi klasik disusun tidak
dalam situasi yang tenang tentram, tetapi disusun sesuai dengan alur
kepentingan kepentingan kelompok yang hidup pada saat itu. Teologi tanpa terasa
telah membaur menjadi kepentingan politik. Barangkali berangkat dari kenyataan
seperti itu, datanglah kritik yang beraneka ragam dari para pemikir yang datang
belakangan terhadap eksistensi ilmu kalam atau teologi dan pemahaman pemahaman
tauhid akidah dalam format keilmuan klasik. Al-Ghazali menyatakan bahwa akidah
yang diformulasikan lewat ilmu kalam tidak dapat mendekatkan manusia kepada
Tuhan, tetapi melalui ilmu tasawuflah seseorang bisa mendekatkan diri kepada
Tuhan. Ibnu Taymiyah juga berpendapat demikian. Karena ilmu kalam menggunakan
akal sebagai alat untuk memahami agama, maka ia menganjurkan agar menjauhi ilmu
kalam.[29][29]
Muhammad
Iqbal juga melihat adanya anomali-anomali yang melekat dalam literatur teologi
klasik. Teologi Asy’ariyah menggunakan cara berfikir dialektika yunani untuk
mempertahankan dan mendefinisikan pemahaman ortodoksi islam. Pemikiran teologi
Asy’ariyah dinilai tidak kondusif untuk memajukan dan membangkitkan
etos keilmuan dalam pemikiran islam. Mu’tazilah, sebaliknya terlalu jauh
bersandar pada akal, yang akibatnya tidak menyadari bahwa dalam wilayah agama,
pemisahan antara pemikiran agama dari pengalaman konkret merupakan kesalahan
besar. Al-Ghazali juga dipersalahkan oleh iqbal, karena dianggap telah memorak
porandakan struktur pengalaman keberagamaan dengan hanya mendasarkan agama pada
landasan skeptik, dengan alasan bahwa pemikiran manusia yang terbatas tidaklah
dapat mengetahui dan memahami sesuatu yang tidak terbatas.
Karena itu, banyak dari
para pemikir intelektual muslim mewacanakan rekonstruksi teologi Islam agar
teologi Islama benar-benar menjadi Ilmu yang bermanfaat bagi manusia dan umat
masa kini. Yaitu dengan melakukan rekonstruksi dan revisi, serta membangun
kembali epistimologi lama menuju epistimologi yang baru. Tujuan pokok dari
rekonstruksi teologi adalah agar menjadikan teologi agama tidak sekedar
dogma-dogma yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan
sosial, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi secara
aktua sebagai landasan etnik dan motivasi bagi manusia.
Sebab itu juga banyak
kritik yang disuarakan oleh para pemikir Islam terhadap teologi Islam Klasik.
Salah satunya adalah Hasan Hanafi, jauh-jauh hari telah menawarkan rekontruksi
teologi Islam ke arah antroposentrisme. Menurut Hanafi, sejarah Islam tentang
teologi kenyataannya telah jauh menyimpang dari misinya yang paling awal dan
mendasar, yaitu liberasi atau emansipasi umat manusia. Rumusan klasik di bidang
teologi yang kita warisi dari para pendahulu Muslim pada hakikatnya tidak lebih
dari sekumpulan diskursus keagamaan yang kering dan tidak punya kaitan apapun
dengan fakta-fakta nyata kemanusiaan. Paradigma teologi klasik yang
ditinggalkan para pendahulu hanyalah sebentuk ajaran langitan, wacana teoritis
murni, abstrak-spekulatif, elitis dan statis; jauh sekali dari
kenyataan-kenyataan sosial kemasyarakatan. Padahal, semangat awal dan misi
paling mendasar dari gagasan teologi Islam (Tauhid) sebagaimana tercermin di
masa Nabi saw. sangatlah liberatif, progresif, emansipatif dan revolutif.[30][30]
Senada dengan pandangan
tersebut, Fazlur Rahman menyatakan bahwa
teologi atau berteologi haruslah dapat menumbuhkan moralitas atau sistem nilai
etika untuk membimbing dan menanamkan dalam diri manusia agar memiliki tanggung
jawab moral, yang dalam Al-Qur’an disebut taqwa. Secara pasti teologi Islam
merupakan usaha intelektual yang memberi penuturan koheren dan setia dengan isi
yang ada dalam Al-Qur’an. Teologi harus mempunyai kegunaan dalam agama apabila
teologi itu fungsional dalam kehidupan agama. Disebut fungsional sejauh teologi
tersebut dapat memberikan kedamaian intelektual dan spritual bagi umat manusia
serta dapat diajarkan pada umat.[31][31]
Dalam perspektif
perkembangan masyarakat modern dan postmodern, Islam harusnya mampu meletakkan
landasan pemecahan terhadap problem kemanusiaan (kemiskinan, ketidakadilan, hak
asasi manusia, keterbelakangan, dan sebagainya). Teologi yang fungsional adalah
teologi yang memenuhi panggilan tersebut, bersentuhan dan berdialog, sekaligus
menunjukkan jalan keluar terhadap berbagai persoalan empirik kemanusiaan.
Berangkat dari hal itu,
Amin Abdullah berpandangan bahwa tantangan kalam atau teologi Islam kontemporer
adalah isu-isu kemanusiaan universal, pluralisme keberagamaan, kemiskinan
struktural, kerusakan lingkungan, dan sebagainya. Teologi, dalam agama apapun
yang hanya berbicara tentang Tuhan (teosentris) dan tidak mengkaitkan
diskursusnya dengan persoalan-persoalan kemanusiaan universal (antroposentris),
memiliki rumusan teologis yang lambat laun akan menjadi out of date.
Al-Qur’an sendiri hampir dalam setiap diskursusnya selalu menyentuh dimensi
kemanusiaan universal.[32][32]
Kalau kita analisis
dari pandangan-pandangan tersebut, setidaknya terdapat tiga kelemahan yang dimiliki
oleh pembahasan teologi Islam klasik diantaranya:
·
Pertama, ilmu kalam menonjolkan
pembahasannya pada hal-hal abstrak seputar eksistensi Tuhan dan
atribut-atribut yang melekat pada-Nya, yang tidak berkorelasi dengan realitas
sosial.
·
Kedua, Teologi Islam tradisional dalam paradigmanya
cenderung spekulatif, teoritik, elitik, statis dan kehilangan daya dorong
sosial serta momentum perlawanannya.
·
Ketiga, Paradigma teologi
klasik Islam sudah tidak relevan dengan tuntutan modernitas, gerak sejarah dan
dinamika perkembangan zaman, karena itu sudah saatnya direformasi,
rekonstruksi, dan reformulasi dalam modelnya yang baru dan progresif.
Sadar
akan implikasi dan konsekuensi dari pola berpikir seperti itu, khususnya dalam
masyarakat pluralistik, maka perlunya mengajukan pola pikir pendamping yang
disebut critical reflection, sebuah istilah yang dapat disepadankan
dengan philosophical reflection. Merupakan refleksi filosofis
berkenaan dengan pokok-pokok keimanan umat Islam. Teologi Islam, dengan
demikian, merupakan pembahasan tentang iman yang bercorak filsafat, dipengaruhi
pikiran dan metode filsafat. Meskipun demikian, antara teologi dan filsafat ada
perbedaan diantara keduanya. Pertama, para teolog sebagai pembela setia
Islam, ia berangkat dari dasar-dasar iman dan dibuktikan secara rasional
(filsafati). Para filosof berangkat dari keraguan dan pencarian kebenaran iman.
Kedua, bahwa obyek teologi Islam adalah persoalan keimanan (terbatas)
sedang filsafat lebih luas lagi.[33][33]
E.
Membangun Teologis Kontemporer
Jika teologi
betul-betul ingin menjadi ilmu maka ia tidak cukup semata-mata merupakan studi
atas kitab suci tapi harus mencari dan menemukan sejumlah masukan berdasarkan
data empiris kontemporer. Studi agama masa depan harus meminjam dan
mengadaptasi sejumlah pemahaman dan penemuan dari berbagai disiplin
keilmuan yang lain. Pola pikir dan logika
yang digunakan dalam ilmu kalam (‘aqidah, doktrin, dogma) adalah pola
pikir deduktive, pola pikir yang sangat tergantung pada sumber utama (teks).
Sejauh yang diketahui bahwa pola pikir deductive hanyalah salah satu saja dari
pola pikir yang ada. Masih ada yang disebut dengan inductive dan abductive.[34][34]
Menurut
Amin Abdullah, dalam analisis sejarah perkembengan ilmu pengetahuan (history
of science) pola pikir deductive dan inductive dianggap sudah tidak memadai
lagi untuk dapat menjelaskan secara cermat tata kerja diperolehnya ilmu
pengetahuan yang sesungguhnya. Perkembangan ilmu pengetahuan era abad 20
memunculkan kategori baru dalam pola pikir keilmuan. Yaitu pola pikir
abductive. Pola pikir ini lebih menekankan the logic of discovery dan
bukan the logic of justification. Pengujian secara kritis terhadap apa
yang didapat disebut sebagai bangunan keilmuan, termasuk didalamnya rumusan
manusia tentang keilmuan agama atau rumusan-rumusan aqidah dapat dikaji kembali
validitas dan kebenarannya melalui pengalaman-pengalaman yang terus-menerus
berkembang dalam kehidupan praksis sosial yang aktual.[35][35]
Kendatipun semangat
fundamentalism begitu menyolok dalam fenomena seperti ini tapi yang demikian
bukanlah satu-satunya gejala yang ada di dalamnya, bahkan terdapat perkembangan
yang sering bertolak belakang. Perubahan yang cenderung anarchis dan kemajemukan
wacana mendorong sebagian cendikiawan untuk memunculkan paradigma pemikiran
yang lebih inklusif, toleran, dan perlunya pengertian terhadap kelompok lain.[36][36]
Imre Lakatos, sudah
banyak bicara tentang bagaimana teologi ini didekatkan dengan program riset,
perubahan yang akan dilakukan bukanlah konstruksi bangunan dasar keagamaan
secara keseluruhan melainkan wilayah periperial atau wilayah interpretasi
terhadap ajaran. Dalam program riset ini, terdapat aturan-aturan metodologis
yang salah satunya disebut dengan negative heuristic. Tujuan
metode ini adalah mempertahankan hard core (inti pokok). Dalam negative
heuristic, penelitian tidak boleh diarahkan kepada hard core akan
tetapi diarahkan kepada hipotesis pembantu yang berada di
sekeliling hard core yang berfungsi sebagai protective belt (lingkaran
pengaman). Hipotesis bantu inilah yang menjadi sasaran penelitian sehingga
harus selalu dilakukan penyesuaian atau menggantinya secara
keseluruhan untuk mengamankan hard core. Dengan lain
ungkapan, bahwasanya wilayah inti (hard core) dari pada wahyu serta dimensi
normativitas ajaran agama akan tetap seperti itu apa adanya, dan hanya wilayah
interpretasi ajaran agama yang bersifat historis-relativ yang akan masih
berkembang sesuai dengan perkembangan akal budi dan perkembangan ilmu
pengetahuan manusia, yang akan terkena proses dekonstruksi. Jika memang begitu
adanya, maka dengan terjadinya proses dekonstruksi justru
menunjukkan adanya dinamika keberagamaan manusia dalam arti yang sesungguhnya.[37][37]
Berbeda dengan Lakatos,
Thienmann menghendaki sebuah teologi yang terlepas dari kekuatan
lembaga-lembaga atau dasar-dasar teori sebelumnya, sehingga seseorang akan
dapat berimprovisasi sendiri. Ia mengatakan tidak ada petunjuk untuk memilih
salah satu dari berbagai sistem yang ada. Jadi ciri khas dari sebuah teologi
postmodernism itu memang anti-foundational yang menolak
segala bentuk konsep yang berfungsi sebagai starting point untuk membangun
sebuah kebenaran, dan juga anti-totalizing yang mengkritik teori
tentang totalitas dari sebuah realitas.[38][38]
Apa yang ingin
disampaikan disini adalah bahwa kebenaran agama itu biarlah berjalan
apa adanya, substansi kebenaran agama berlangsung apa adanya dan tak perlu
diragukan apalagi ditolak. Hanya saja yang utama dari semua itu adalah perlunya
pembenahan ulang terhadap berbagai konsep dan teori dimana dan dalam kondisi
apa ilmu kalam itu dibangun.[39][39]
Berdasarkan
pemikiran-pemikiran yang dikemukakan para pemikir muslim kontemporer, maka
dapat diketahui ada beberapa karakteristik teologi kontemporer, yaitu:
1.
Bersifat Antroposentris
Hasan Hanafi
memunculkan paradigma baru dalam kajian teologi kontemporer, yaitu paradigma yang
bersifat antroposentris. Begitu antroposentrisnya, sampai ia mengatakan bahwa
Tuhan adalah diri manusia itu sendiri. Kita tidak perlu memikirkan Tuhan yang
ada di langit. Sebab ia tidak butuh pemikiran kita. Energi pikiran kita,
sebaiknya digunakan untuk menyelesaikan problem-problem kemanusiaan yang masih
banyak belum terselesaikan. Fazlur Rahman menegaskan bahwa yang
sebenarnya dituju oleh al-Qur’an bukanlah Tuhan melainkan manusia dan tingkah
lakunya. Nuansa pemikiran dan refleksi sosial dibelakang pernyataan Rahman
tampak ada disitu.[40][40] Wilayah normative theology perlu segera dipertautkan dengan isu-isu
yang muncul dalam wilayah practical theology.
2.
Integrasi Teologi dan Filsafat
Era klasik skolastik
yang mempertentangkan dengan tajam kedua pendekatan tersebut dalam memecahkan
persoalan agama telah lewat, isu
keterbukaan berkat globalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak
mungkin dibendung dengan cara apapun mendorong orang untuk mencari altenatif
baru dengan menggunakan pendekatan yang lebih bernuansa
sosio-filosofis-qur’anis.[41][41]
3.
Berparadigma kritis
Paradigma ini memandang
islam sebagai agama yang menjadi
pendorong revolusi sosial untuk memerangi struktur yang menindas. Tujuan dasar
paradigma ini adalah persaudaraan universal (universal brotherhood),
kesetaraan (equality), dan keadilan social (social justice).[42][42]
4.
Berprinsip Pegembangbiakan dan Pembebasan
Prinsip
pengembangbiakan bukan aturan metodologis melainkan suatu prinsip bahwa
kemajuan ilmu pengetahuan tidak dapat dicapai dengan mengikuti metode atau
teori tunggal. Kemajuan ilmu pengetahuan akan dicapai dengan membiarkan
teori-teori yang beraneka ragam. Prinsip ini dapat dipergunakan untuk studi
teologi kontemporer, setiap pengkaji dapat secara sadar memaknai
doktrin-doktrin teologi sesuai pengalaman keagamaan dan situasi sosialnya
sendiri. Dengan begitu, orang tidak lagi saling mengkafirkan dan merasa paling
benar sendiri.
Kesimpulan
Pendekatan teologis
memfokuskan pada sejumlah konsep khususnya yang didasarkan pada ide
theos-logos, studi atau pengetahuan tentang Tuhan. Teologi sering berpusat pada
doktrin. Dalam pendekatan teologis memahami agama adalah pendekatan yang
menekankan bentuk formal simbol-simbol keagamaan, mengklaim sebagai agama yang
paling benar, yang lainnya salah sehingga memandang bahwa paham orang lain itu
keliru, kafir, sesat, dan murtad. Pendekatan teologis dalam memahami agama
menggunakan cara berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang berawal dari
keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal
dari Tuhan sudah pasti benar sehingga tidak perlu dipertanyakan terlebih
dahulu, melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan
dalil-dalil dan argumentasi.
Studi islam secara
metodologis memiliki urgensi dan signifikansi dalam konteks untuk memahami cara
mendekati islam, baik pada tataran realitas-empirik maupun normatif-doktrinal
secara utuh dan tuntas. Islam tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang saja
seraya menafikan sudut pandang lainya yang kehadiranya sama-sama penting.
Apabila islam hanya dilihat dari satu sisi saja, maka akibat yang ditimbulkanya
pun mudah ditebak, yaitu reduksi dan distorsi makna. Sebagai akibatnya gambaran
islam yang utuh tanpa diwarnai oleh sikap apologetik dan truth claim sepihak
rasanya akan sulit dicapai. Perkembangan zaman yang selalu berubah dan disertai
munculnya berbagai persoalan baru dalam kehidupan manusia, menjadi sebuah
tuntutan untuk memahami agama sesuai zamanya.
Tuntutan terhadap agama
yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak
menggunakan pendekatan tologis-normatif dilengkapi dengan pemahaman agama yang
menggunakan pendekatan lain yang secara oprasional konseptual dapat memberikan
jawaban terhadap masalah yang timbul. Sebaiknya umat islam tidak hanya memahami
islam melalui pendekatan teologis saja (diperlukan pendekatan berbagai disiplin
ilmu-ilmu yang lain) bahkan sikap dan pengalaman agama lain untuk
melihat lebih dekat agama kita sendiri. Agar pemahaman tentang islam menjadi
integral, universal, dan komprehenshif.
Daftar Pustaka
Abdullah, Amin, Dinamika Islam Cultural, Bandung; Mizan, 2000.
_______, Amin, Falsafah Kalam Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
_______, Amin, Filsafat
Teologi Islam di Era Potmodernisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
_______, Amin, Studi
Agama : Normativitas atau Historisitas, Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
_______, M. Amin, Rekonstruksi
Metodologi Agama dalam Masyarakat
Multikultural dan Multirelegius, Yogyakarta: SUKA Press, 2003.
Abdullah, Taufik dan M.
Rusli Karim (eds.), Metodologi Penelitian Agama Sebuah Pengantar. Cet.
II. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta,1990.
Al-Jabiri, Muhammad
Abed, Nalar Filsafat dan Teologi Islam: Upaya Membentengi Pengetahuan
dan Mempertahankan Kebebasan Berkehendak, terj.Aksin Wijaya, Yogyakarta:
IRCiSoD, 2003.
Amalados, Michael, Teologi Pembebasan Asia, Yogkakarta: Pustaka
Pelajar, 2001.
Azra, Azyumardi, Kontek
Berteologi di Indonesia, Pengalaman Islam, Jakarta: Paramadina, 1999.
Bachtiar, Amsal, Filsafat Agama, Jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997.
Esha, Muhammad In’am, Telogi Islam: Isu-Isu Kontemporer, Malang: UIN
Malang Press, 2008.
Hamzah, Ya’kub,, Filsafat Agama Titik Temu Akal dengan
Wahyu, Jakarta: Pedoman Ilmu 1991.
Hanafi, A, Theology Islam, Jakarta; Bulan Bintang , 1979.
_____, Hassan, Agama, Ideologi, dan Pembangunan, terj. Shonhaji
Sholeh. Jakarta: P3M, 1991.
_____, Jaya, A, Pengantar Theology Islam. Cet. V. Jakarta: Pustaka
Al-Husna, 1989.
Ma’arif, Syafi’I, Islam
Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Manaf, Mujtahid Abd., Ilmu
Perbandingan Agama, Cet. Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994.
Meuleman, J.H., Tradisi, Kemodernan, dan Metamodernisme, Yogyakarta:
LKiS, 1999.
Muhadjir, Noeng, Metodologi
Penelitian Kualitatif. Edisi IV Cet. I; Yoyakata: Rake Sarasin, 2000.
Nasution, Harun, Teologi
Islam : Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press,
2002.
Nata, Abudin, Metodologi Studi islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Nurhakim, Moh., Metodologi Studi Islam, Malang: Umm Press, 2004.
Rahman, Fazlur, Tema-Tema Pokok Al-Qur’an. Terj. Anas Mahudin
(Bandung; Pustaka, 1983.
Romas, Chumaidi Syarif, Wacana Teologi Islam Kontemporer. Yogyakarta:
PT. Tiara Wacana, 2000.
Sirait, Sangkot, Ilmu
Kalam (Sebuah Kritik Epistemologi), Koordinator Perguruan Tinggi Agama
Islam Swasta, Jurnal Mukaddimah, Vol. XIV,No. 25 Juli-Desember 2008.
Wach, Joachim, The
Comparative Study of Religions, diterjemahkan oleh Djamannuri dengan judul
“Ilmu Perbandingan Agama Inti dan Bentuk Pengamalan Keagamaan. Cet. IV.
Jakarta: RajaGrafiondo Persada, 1994.
[1][1]Jaya.
Hanafi, A, Pengantar Theology Islam. Cet. V. (Jakarta: Pustaka Al-Husna,
1989), hlm. 11.
[2][2] Ya’kub Hamzah, Filsafat Agama Titik Temu Akal dengan Wahyu, (Jakarta:
Pedoman Ilmu 1991), hlm. 10.
[4][4] Harun Nasution, Teologi
Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press,
2002), hlm. 9.
[5][5] Muhammad Abed al-Jabiri,
Nalar Filsafat dan Teologi Islam: Upaya Membentengi Pengetahuan dan
Mempertahankan Kebebasan Berkehendak, terj.Aksin Wijaya, (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2003), hlm. 22.
[6][6]Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas,
(Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 10.
[9][9] Mujtahid Abdul Manaf, Ilmu Perbandingan Agama, Cet. Islam,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994),
hlm. 3.
[10][10] Joachim Wach, The Comparative Study of Religions,
diterjemahkan oleh Djamannuri dengan judul “Ilmu Perbandingan Agama Inti dan
Bentuk Pengamalan Keagamaan. Cet. IV. (Jakarta: RajaGrafiondo Persada,
1994) hlm. 13.
[12][12] M. Amin Abdullah, Rekonstruksi Metodologi Agama dalam Masyarakat Multikultural dan
Multirelegius, (Yogyakarta: SUKA Press, 2003), hlm. 16.
[13][13] Taufik Abdullah, dan M. Rusli Karim (eds.), Metodologi
Penelitian Agama Sebuah Pengantar. Cet. II. (Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogyakarta,1990), hlm. 90.
[14][14]
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi IV Cet. I; (Yoyakata:
Rake Sarasin, 2000), hlm. 255.
[17][17] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 2009), hlm. 9-11.
[18][18] Muhammad In’am Esha, Telogi Islam: Isu-Isu Kontemporer,
(Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm. 2.
[20][20] Amin Abdullah, Filsafat Teologi Islam di Era Potmodernisme,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 3.
[26][26] Syafi’I Ma’arif, Islam Kekuatan Doktrin dan Keagamaan Umat,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm. 3.
[30][30] Hassan Hanafi,
Agama, Ideologi, dan Pembangunan, terj. Shonhaji Sholeh. (Jakarta: P3M,
1991) hlm. 205.
[31][31] Chumaidi Syarif Romas, Wacana Teologi Islam Kontemporer. Yogyakarta:
PT. Tiara Wacana, 2000), hlm. 82.
[33][33] Muhammad In’am Esha, Telogi Islam: Isu-Isu Kontemporer,
(Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm. 13.
[34][34] Pola pikir inductive mengatakan bahwa ilmu pengetahuan bersumber
dari realitas empiris-historis. Realitas empiris-historis yang berubah-ubah,
yang bisa ditangkap oleh indera dan dirasakan oleh pengalaman dan selanjutnya
diabstraksikan menjadi konsep-konsep, rumus-rumus, ide-ide, gagasan-gagasan,
dalil-dalil yang disusun sendiri oleh akal pikiran. Dalam pola pikir inductive tidak
ada sesuatu apapun yang disebut ilusif. Semua yang dikenal oleh manusia dalam
dunia konkret ini dapat dijadikan sebagai bahan dasar ilmu pengetahuan, tidak
terkecuali ilmu kalam. Sangkot Sirait, Ilmu Kalam (Sebuah Kritik
Epistemologi), Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta, Jurnal
Mukaddimah, Vol. XIV,No. 25 Juli-Desember 2008,
hlm. 257.
[36][36] Azyumardi Azra, Kontek Berteologi di Indonesia, Pengalaman
Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. 16.
[40][40] Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok Al-Qur’an. Terj. Anas
Mahudin (Bandung; Pustaka, 1983), hlm. 4, 40,75.
No comments:
Post a Comment