Thursday, October 27, 2016

pembagian akhlak dalam Islam akhlak tasawuf




Pembagian Akhlak dalam Islam
Pembagian akhlak yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah menurut sudut pandang Islam, baik dari segi sifat maupun dari segi objeknya. Dari segi sifatnya, akhlak dikelompokkan menjadi dua, yaitu pertama, akhlak yang baik, atau disebut juga akhlak mahmudah (terpuji) atau akhlak al-karimah; dan kedua, akhlak yang buruk atau akhlak madzmumah.


Akhlak Mahmudah
Akhlak mahmudah adalah tingkah laku terpuji yang merupakan tanda keimanan seseorang. Akhlak mahmudah atau akhlak terpuji ini dilahirkan dari sifat-sifat yang terpuji pula”.

Sifat terpuji yang dimaksud adalah, antara lain: cinta kepada Allah, cinta kepda rasul, taat beribadah, senantiasa mengharap ridha Allah, tawadhu’, taat dan patuh kepada Rasulullah, bersyukur atas segala nikmat Allah, bersabar atas segala musibah dan cobaan, ikhlas karena Allah, jujur, menepati janji, qana’ah, khusyu dalam beribadah kepada Allah, mampu mengendalikan diri, silaturrahim, menghargai orang lain, menghormati orang lain, sopan santun, suka bermusyawarah, suka menolong kaum yang lemah, rajin belajar dan bekerja, hidup bersih, menyayangi inatang, dan menjaga kelestarian alam.

Akhlak Madzmumah
Akhlak madzmumah adalah tingkah laku yang tercela atau perbuatan jahat yang merusak iman seseorang dan menjatuhkan martabat manusia.

Sifat yang termasuk akhlak mazmumah adalah segala sifat yang bertentangan dengan akhlak mahmudah, antara lain: kufur, syirik, munafik, fasik, murtad, takabbur, riya, dengki, bohong, menghasut, kikil, bakhil, boros, dendam, khianat, tamak, fitnah, qati’urrahim, ujub, mengadu domba, sombong, putus asa, kotor, mencemari lingkungan, dan merusak alam.
Demikianlah antara lain macam-macam akhlak mahmudah dan madzmumah. Akhlak mahmudah memberikan manfaat bagi diri sendiri dan orang lain, sedangkan akhlak madzmumah merugikan diri sendiri dan orang lain. Allah berfirman dalam surat At-Tin ayat 4-6.
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan mereka ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali yang beriman dan beramal shalih, mereka mendapat pahala yang tidak ada putusnya.”

Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW besabda
Artinya:
“Sesungguhnya manusia yang berakhlak mulia dapat mencapai derajat yang tinggi dan kedudukan mulia di Akhirat. Sesungguhnya orang yang lemah ibadahnya akan menjadi buruk perangai dan akan mendapat derajat yang rendah di neraka Jahanam.” (HR. Thabrani)


Kemudian, dari segi objeknya, atau kepada siapa akhlak itu diwujudkan, dapat dilihat seperti berikut:

Akhlak kepada Allah, meliputi antara lain: ibadah kepada Allah, mencintai Allah, mencintai karena Allah, beramal karena allah, takut kepada Allah, tawadhu’, tawakkal kepada Allah, taubat, dan nadam.

Akhlak kepada Rasulullah saw., meliputi antara lain: taat dan cinta kepda Rasulullah saw.

Akhlak kepada keluarga, meliputi antara lain: akhlak kepada ayah, kepada ibu, kepada anak, kepada nenek, kepada kakek, kepada paman, kepada keponakan, dan seterusnya.

Akhlak kepada orang lain, meliputi antara lain: akhlak kepada tetangga, akhlak kepada sesama muslim, kepada kaum lemah, dan sebagainya.

Akhlak kepada lingkungan, meliputi antara lain: menyayangi binatang, merawat tumbuhan, dan lain-lain.

Berikut ini beberapa macam dan penjelasan tentang akhlak mahmudah: 
1.      Al-Rahman, yaitu belas kasihan dan lemah lembut. Firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 159 yang artinya: “Maka dengan rahmat Allah-lah engkau lemah lembut kepada mereka.”
2.      Al-‘Afwu, yaitu pemaaf dan mau bermusyawarah. Manusia tidak bisa lepas dari lupa dan kesalahan. Firman Allah dalam surat dan ayat yang sama, yang artinya “…Sebab itu maafkanlah kesalahan mereka; dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.”
3.      Amanah, yaitu terpercaya dan mampu menemmpati janji. Sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang, baik berupa tugas, titipan harta, rahasia, dan amanat lainnya, mesti dipelihara dalam arti dilaksanakan sebagai mana mestinya. Demikian pula apabila berjanji, hendaknya di tepati. Allah berfirman dalam surat al-Mu’minun ayat 8 yang artinya, “Dan yang memelihara amanat dan janji mereka …”
4.      Anisatun, yaitu manis muka dan tidak sombong. Manis muka ini mungkin pembawaan sejak lahir. Namun bagi orang yang tidak memiliki sifat demikian, dapat dipelajari dengan membiasakan manis muka, karena orang yang suka berpaling itu kemungkinan dianggap sombong, sedangkan orang yang sombong itu tidak disukai oleh Allah Swt dan juga oleh manusia. Allah berfirman dalam surat Lukman ayat 18 yang artinya: “Dan janganlah engkau memalingkan mukamu terhadap manusia, dan janganlah berjalan di muka bumi ini dengan angkuh, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
5.      Khusyu’ dan Tadarru’, yaitu tekun tidak lalai dan menundukan atau merendahkan diri terhadap Allah Swt. Sikap ini seringkali dikhususkan dalam shalat atau ibadah mahdlah lainnya. Misalnya diwaktu shalat itu hendaknya ada konsentrasi pikiran yang terpadu dengan apa yang diucapkan dan dirasakan dalam hati, sehingga tidak lalai dan melamun. Tidak tergesa-gesa namun hendaknya tuma’ninah, dapat dirasakan ketika bersujud dan ketika berdo’a. Allah berfirman dalam surat Al-Mu’minun ayat 2 yang artinya “Orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” Dalam surat Al-Araf ayat 55 yang artinya, “Bermohonlah kepada Tuhan dengan merendahkan diri dan rahasia suara jiwa.”
6.      Al-Haya, yaitu malu kalau diri tercela. Perasaan malu terhadap Allah apabila melakukan terhadap ma’siyat, meskipun tersembunyi dari pandangan manusia. Demikian pula tidak berani meninggalkan kewajiban. Firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 108 yang artinya, “Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi tidak ersemunyi dari Allah, karena Allah bersama mereka…”
7.      Al-Ikhwan dan Al-Ishlah, yaitu persaudaraan atau perdamaian. Antara orang yang beriman dengan yang beriman lainnya bersaudara. Allah berfirman dalam surat al-Hujurat ayat 10 yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu bersaudara. Sebab itu demikianlah (perbaikilah hubungan) antara keduanya dan bertakwalah kepada Allah, mudah-mudahan kamu mendapat rahmat (dari pada-Nya).”
8.      Al-Salihat, yaitu berbuat baik atau amal shaleh. Seseorang dikatakan beramal soleh, apabila ia mengerjakan pekerjaan yang dibolehkan oleh syara’, disertai ilmunya dan dengan niat yang ikhlas. Mungkin nampaknya pekerjaannya baik, namun niatnya buruk misalnya, maka bukanlah amal shalih, mungkin penipu atau berbuat munafik. Yang jelas ketiga persyaratan itu harus dipenuhi baik oleh wanita atau pria sama saja. Firman Allah dalam surat al-Nisa ayat 124 yang artinya, “Dan siapa yang mengerjakan perbuatan yang baik, baik laki-laki maupun perempuan dan ia beriman, maka orang itu masuk dalam surga, dan mereka tidak dirugikan sedikitpun.”
9.      Al-Sabru, yaitu sabar. Sabar ini terhadap 3 macam hal, yaitu sabar dalam beribadah, ialah dimulai dengan niat yang ikhlas, ketika beramal tidak lupa kepada Allah, sanggup menghadapi berbagai rintangan baik dari dalam maupun dari luar. Kemudian shabar dalam menjauhkan diri dari perbuatan ma’siyat, tidak tertarik dengan godaan duniawiyah yang jelas tidak diperbolehkan dengan agama dan sabar yang ketiga adalah shabar dalam mendapat musibah, kemungkinan belum tercapainya cita-cita, tidaklah berputus asa, juga ditimpa malapetaka. Musibah yang menimpa manusia ini juga ada 3 macam, yaitu kemungkinan siksaan bagi orang yang berdosa, peringatan bagi orang mukmin yang lalai dan ujian bagi orang-orang yang shalih. Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 153 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan dengan shabar dan mengerjakan shalat, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang shabar.”
10.  Al-Ta’awun, yaitu tolong menolong. Tolong menolong merupakan ciri kehalusan budi, kesucian jiwa dan ketinggian akhlak, memudahkan saling mencintai dan saling mendo’akan satu sama lain, penuh solidaritas dan penguat persaudaraan dan persahabatan. Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 2 yang artinya, “Hendaklah kamu tolong menolong dalam kebaikkan dan takwa, dan janganlah bertolongan dalam dosa dan permusuhan.”
            Demikianlah sebahagian akhlak terpuji yang disertai ayat-ayat al-Qur’annya, dan masih banyak lagi sifat-sifat yang baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun dalam hadits, seperti: al-Alifah, yaitu disenangi; al-Diyafah, yaitu menghormati tamu; al-Hilm, yaitu menahan diri dari ma’siyat; al-Muru’ah, yaitu berbudi tinggi; al-Nadzafah, yaitu bersuci/bersih; al-Sakhau, yaitu pemurah; al-Salam, yaitu sejahtera/ sentosa; al-Siddiq, yaitu bersikap jujur; al-Syaja’ah, yaitu berani karena benar; al-Tawadlu’, yaitu rendah hati terhadap sesama manusia dan banyak lagi sifat-sifat terpuji lainnya.
   1.Al-Nani’ah, yaitu sifat egois, tidak memperhatikan kepentingan orang lain. Manusia sebagai makhluk pribadi dan sekaligus makhluk sosial. Oleh karenanya, dalam mengejar kepentingan pribadi, hendaknya memperhatikan kepentingan orang lain janganlah boros dan juga kikir, namun hendaknya berada di antaranya yaitu pemurah. Perhatikan firman Allah Swt dalam surat Al-Isra ayat 29 yang artinya: “Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu ke kuduk, dan janganlah pula engkau kembangkan seluas-luasnya, nanti engkau duduk tercela dan sengsara.”

     2.Al-Bukhlu, yaitu kikir. Orang yang kikir, tidak mau membelanjakan hartanya, baik untuk dirinya, misalnya biar makan tidak baik dan bergizi, padahal uang ada, baik untuk kepentingan keluarganya, maupun untuk kepentingan orang banyak, yang merupakan zakat, infak atau sadakah. Bagi orang yang kikir, mendengar istilah-istilah tersebut bagaikan petir di siang hari. Sifat kikir ini dapat mempersempit pergaulan, sering menuduh orang tama’ (ingin diberi). Kemudian orang yang kikir itu apabila hartanya telah berkumpul, ia merasa kaya dan tidak lagi memerlukan bantuan orang lain yang juga lupa kepada pemberinya. Allah berfirman dalam surat al-Lail ayat 8-10 yang artinya, “Tetapi orang yang kikir dan merasa dirinya serba cukup, dan mendustakan yang baik, akan kami mudahkan baginya (jalan) kesukaran.”

     3.Al-Butan, yaitu suka berdusta. Berdusta adalah mengada-adakan sesuatu baik dengan ucapan, tulisan, maupun dengan isyarat, padahal sebenarnya tidak ada, mungkin untuk kepentingan dirinya atau membela orang lain, atau sengaja untuk menjatuhkan nama orang lain, apalagi lempar batu sembunyi tangan. Firman Allah dalam surat al-Nisa ayat 112 yang artinya, “Siapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkan kepada orang lain yang tidak bersalah, sesungguhnya dia memikul kebohongan dan dosa yang jelas.”

     4.Khianat, yaitu tidak menempati janji. Khianat ini lawan dari amanat, apabila amanat dapat melapangkan rezeki, maka khianat akan dapat menimbulkan kefakiran. Sifat khianat ini seringkali tidak nampak, sehingga kadang-kadang ada orang yang membela orang yang khianat karena ia tidak mengetahuinya. Allah berfirman dalam surat al-Nisa ayat 107 yang artinya, “Dan janganlah engkau membela orang-orang yang khianat kepada dirinya sendiri, sesungguhnya Tuhan tidak menyukai orang-orang yang khianat dan berdosa.”

     5.Al-Jubn, yaitu pengecut. Orang pengecut penuh dengan rasa takut, yang menyebabkan dirinya menjadi hina, sebab sudah mundur sebelum dicoba, tidak berani berjalan untuk mendapatkan kemenangan. Ia selalu iri terhadap keuntungan atau hasil yang dicapai orang lain. Allah berfirman dalam surat al-Nisa ayat 72 dan 73 yang artinya, “Dan sesungguhnya di antara kamu ada orang yang lembek/pengecut kalau kamu ditimpa bahaya (dalam perjuangan), dia berkata, sesungguhnya Tuhan memberi karunia kepadaku karena aku tidak ikut beserta mereka. Dan kamu memperoleh karunia dari Tuhan (atas perjuanganmu), mereka tentu mengatakan, sebagai tidak ada hubungan kasih sayang antara kamu dengan mereka, supaya aku turut mendapat kemenangan yang besar.”

     6.Al-Gibah, yaitu menggunjing atau mengumpat. Menggunjing adalah mengatakan keadaan orang lain dibelakangnya dengan celaan kepada orang-orang yang ada dimukanya, dengan tujuan untuk menjatuhkan nama orang tersebut atau tujuan lain, meskipun memang sebenarnya keburukan itu ada pada orang yang digunjingnya. Bila tidak ada, hal itu merupakan fitnah. Firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 12 yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sebagian kecurigaan itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang, dan janganlah mempergunjingkan orang satu sama lain.”

     7.Al-Hasad, yaitu dengki. Dengki atau hasud suatu perbuatan kerusakan terhadap orang lain, kemungkinan timbul disebabkan ni’mat Tuhan yang dianugerahkan kepada orang lain dengan keinginan agar ni’mat orang lain itu terhapus. Dengki juga karena benci dan dendam atas kegagalan usaha dirinya, kemudian membuat cara-cara yang tidak diridlai Allah Swt. Allah berfirman dalam surat al-Falak ayat 1-5 yang artinya, “Katakanlah. Aku berlindung kepada Tuhan subuh, terhadap bahaya makhluk yang diciptakan-Nya, dan dari kegelapan ketika ia telah datang, dan dari bahaya hembusan dalam ikatan, dan dari bahaya dengki ketika ia mendengki.”

     8.Al-Ifsad, yaitu berbuat kerusakan. Seringkali sifat perusak mendorong manusia dalam usaha mencapai kepentingan pribadinya dengan tidak memperhatikan akibatnya, misalnya merusak lingkungan baik sendiri-sendiri, maupun bersama-sama dengan orang lain. Dalam surat Asyu’ara ayat 151-152 Allah berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu turuti perintah orang-orang yang melanggar batas. Yaitu orang-orang yang membuat kerusakan (bencana) di muka bumi, dan tidak mengadakan perbaikan.”

     9.Al-Israf, yaitu berlebih-lebihan. Allah berfirman dalam surat al-A’raf ayat 31 yang artinya, “Hai anak-anak Adam, pakailah perhiasanmu setiap waktu shalat dan makan minumlah kamu, dan janganlah melampaui batas, sesungguhnya Tuhan tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”

     10.Al-Dzulmu, yaitu berbuat aniaya. Dzalim atau aniaya adalah lawannya dari adil. Orang yang aniaya baik terhadap dirinya maupun terhadap orang lain, akan menimbulkan perbuatan fasik, karena ia tidak mampu menempatkan sesuatu pada tempatnya, yang akhirnya dapat menimbulkan kehancuran. Allah Swt berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 59 yang artinya, “Tetapi orang-orang yang aniaya mengubah perkataan dengan perkataan lain yang tidak dikatakan kepadanya, lantas kami turunkan kepada orang-orang yang aniaya siksaan dari langit, karena fasik.”

     11.Al-Fawahisyi, yaitu dosa-dosa besar. Dosa yang paling besar adalah menyekutukan Tuhan, orangnya dinamakan musyrik. Allah tidak akan memaafkan orang-orang musyrik. Kemudian terhadap ibu dan bapak. Ridla Allah terletak dalam keridlaan ibu dan bapak. Kemudian dosa membunuh, minuman keras, mencuri, berzina, berjudi, memutuskan silaturahim, takabur, sum’ah dan ria, menjadi saksi palsu, sumpah palsu, memfitnah, dan mengadu-adu, meninggalkan shalat, tidak berpuasa Ramadlan, tidak zakat dan hajji, padahal ia mampu melaksanakannya.     Allah berfirman dalam surat al-An’am ayat 151 yang artinya, “Katakanlah. Marilah aku membacakan kepadamu apa-apa yang diharamkan kepadamu; yaitu janganlah mempersekutukan Tuhan dengan sesuatu apapun, buatlah kebaikkan kepada ibu bapakmu, janganlah kamu bunuh anakmu karena takut miskin. Kami memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka, jangalah kamu dekati perbuatan keji, yang terang dan tersembunyi, dan janganlah kamu bunuh jiwa yang dilarang Tuhan (untuk membunuhnya), kecuali karena tuntutan kadilan (kebenaran). Inilah yang diperintahkan Tuhan kepadamu supaya kamu mengerti.”

     12.Al - Ghadlab (Pemarah)
Marah atau disebut juga sifat pemarah terjadi karena darah mendidih di dalam hati untuk menuntut pembalasan. Pembalasan ini merupakan bentuk kekuatan untuk memberikan kelezatan dan tidak akan reda kecuali dengan pembalasan. Amarah merupakan bagian dari karakter yang selalu ada pada diri manusia. Barang siapa marah dan selalu mengikuti kemarahannya hingga mengikuti perbuatan yang jelek, maka hal tersebut merupakan kemarahan yang tercela sesuai perbuatan yang dulakukannya.

           Marah menunjukkan tingkat kelabilan jiwa seseorang karena ia tidak mampu mengendalikan amarahnya. Ketika marah berkobar maka kesadaran nurani terhalangi yang kemudian mendatangkan sakit hati yang berat. Kecenderungannya ingin menjatuhkan orang lain melalui provokasi, permusuhan dan perusakan.


     13.Al - Istikbar (sombong)

Sombong yaitu menganggap dirinya lebih dari yang lain sehingga ia berusaha menutupi dan tidak mau mengakui kekurangan dirinya, selalu merasa lebih besar, labih kaya, lebih pintar, lebih dihormati, lebih mulia, dan lebih beruntung dari yang lain. Maka biasanya orang seperti itu  memandang orang lain lebih buruk , lebih rendah dan tidak mau mengakui kelebihan orang tersebut, sebab tindakan itu menurutnya sama dengan merendahkan dan menghinakan dirinya sendiri.

           Al-Ghazali menyebutkan kesombongan itu banyak macamnya. Berdasarkan terhadap apa kesombongan itu ditujukan, maka terdapat tiga macam, yakni sombong terhadap Allah, sombong terhadap para Nabi dan sombong terhadap orang lain.


     14.Al- Namimah (mengadu domba)

Menyampaikan perkataan seseorang atau menceritakan keadaan seseorang atau mengabarkan pekerjaan seseorang kepada orang lain dengan maksud mengadu domba antara keduanya atau merusakkan hubungan baik antara mereka.

            Keadaan ini mengakibatkan timbulnya kejahatan antara orang dengan orang atau memutuskan silaturrahmi anttara keluarga dan sahabat, menceraikan hubungan orang dan sebenarnya hal ini berarti memperbanyak jumlah lawan.


     15.Al- Sikhriyyah (berolok-olok)

 Al- Sikhriyyah adalah menghina ke’aiban atau kekurangan orang dengan menertawakannya, dengan memperkatakannya, atau dengan meniru perbuatannya dengan isyarat.

             Janganlah menghina atau memperolok-olokkan orang, boleh jadi orang tersebut lebih baik dari engkau sendiri. Orang yang selalu berolok-olok adalah orang yang berjiwa kera, senangnya hanya mengejek perbuatan orang lain.

PENGERTIAN ETIKA DAN MORAL
2.Etika

Secara etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yangberarti watak kesusilaan atau adat. Dalam KBBI etika diartikan ilmupengetahuan tentang asas-asas akhlaq (moral).Secara terminologi, etika mempunyai banyak ungkapan yangsemuanya itu tergantung pada sudut pandang masing-masing ahli.Ahmad Amin mengartikan etika sebagai ilmu yang menjelaskanarti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan olehmanusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat.Soegarda Poerbakawatja mengartikan etika sebagai filsafat nilai,kesusilaan tentang baik-buruk, serta berusaha mempelajari nilai-nilai danmerupakan juga nilai-nilai itu sendiri Ki Hajar Dewantara menjelaskan etika merupakan ilmu yangmempelajari soal kebaikan (dan keburukan) di dalam hidup manusiasemuanya, teristimewa yang mengenai gerak gerik pikiran dan rasa yangdapat merupakan pertimbangan dan perasaan sdampai mengenai tujuanyang dapat merupakan perbuatan.Austin Fogothey (seperti yang dikutip Ahmad Charris Zubair)mengatakan bahwa etika berhubungan dengan seluruh ilmu pengetahuantentang manusia dan masyarakat sebagi antropologi, psikologi, sosiologi,ekonomi, ilmu politik dan hukum.
Frankena (seperti juga dikutip Ahmad Charris Zubair) menyatakanbahwa etika sebagi cabang filsafat, yaitu filsafat moral atau pemikiran filsafat tentang moralitas, problem moral, dan pertimbangan moral.Dalam  Encyclopedia Britanica , etika dinyatakan sebagai filsafatmoral, yaitu studi yang sistematik mengenai sifat dasar dan konsep-konsepnilai baik, buruk, harus, benar, salah dan sebagainya.Dari beberapa definisi tersebut, etika berhubungan erat dengan empat hal:
a.Dilihat dari obyek formal (pembahasannya), etika berupaya membahasperbuatan yang dilakukan manusia. Dan sebagai obyek materialnyaadalah manusia.
b.Dilihat dari sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat.Sebagai hasil pemikiran maka etika tidak bersifat mutlak, absolut, danuniversa. Akan tetapi terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan,kelebihan, dan sebagainya.
c.Dilihat dari fungsinya, etika berfungsi sebagi penilai, penentu danpenetap terhadap suatu perbuatan yang dilakukan manusia, yaituapakah perbuatan itu akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. dengan demikian etika lebih berperan sebagikonseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilakukan manusia.
d.Dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman.Dengan ciri-cirinya yang demikian itu, etika lebih merupakan ilmupengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yangdilakukan manusia untuk dikatakan baik atau buruk.
Berbagai pemikiranyang dilakukan para filsof barat mengenai perbuatan yang baik atau buruk dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasilberpikir. Dengan demikian etika bersifat humanistis dan anthropocentris,yakni berdasarkan pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia.Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yangdihasilkan oleh akal manusia.
3.Moral
Dari segi bahasa moral berasal dari bahasa Latin, mores (jamak dari kata mos) yang berarti adat kebiasaan. Dalam KBBI dikatakan bahwamoral adalah penentuan baik-buruk terhadap perbuatan dan kelakuan.Secara istilah moral merupakan istilah yang digunakan uantuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atauperbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik, atauburuk.Di dalam buku The Advanced Leaner's Dictionary of Current  English moral mengandung pengertian:
a.Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan benar dan salah, baik danburuk.
b.Kemampuan untuk memahami perbedaan antara benar dan salah.
c.Ajaran atau gambaran tingkah laku yang baik
Berdasarkan kutipan tersebut, dapat dipahami bahwa moral adalahistilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktivitasmanusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah. Jikadalam kehidupan sehari-hari dikatakan bahwa orang tersebut bermoral,maka yang dimaksudkan adalah bahwa orang tersebut tingkah lakunyabaik. 

4.Susila 

Secara bahasa kesusilaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu sudan sila yang mendapat tambahan ke-an. Su berarti baik, bagus dan silaberarti dasar, prinsip, peraturan hidup atau norma. Susila juga dapat berartisopan beradab, baik budi bahasanya. Sehingga kesusilaan berartikesopanan. Dengan demikian kesusilaan lebih mengacu pada upayamembimbing, memandu, mengarahkan, membiasakan danmemasyarakatkan hidup yang sesuai dengan norma atau nilai-nilai yangberlaku dalam masyarakat. Kesusilaan menggambarkan keadaan di mana orang selalu menerapkan nilai-nilai yang dipandang baik. 
B.PERSAMAAN-PERSAMAAN 

Diantara akhlaq, etika, moral, dan susila memiliki obyek yang sama,yaitu sebagai obyek materialnya adalah manusia dan sebagai obyek formalnyaadalah perbuatan manusia yang kemudian ditentukan posisinya apakah baik atau buruk.Dari segi fungsinya sama dalam menentukan hukum atau nilai darisuatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik-buruknya.Dari segi tujuannya sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman, damai, dan tenteram sehingga sejahterabatiniah dan lahiriah. 

C.PERBEDAAN-PERBEDAAN 

Dalam etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atauburuk menggunakan tolok ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan dalammoral dan susila menggunakan tolok ukur norma-norma yang tumbuh danberkembang dan berlangsung dalam masyarakat (adat istiadat), dan dalamakhlaq menggunakan ukuran Al Qur’an dan Al Hadis untuk menentukan baik-buruknya. Dalam hal ini etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan beradadalam dataran konsep-konsep (bersifat teoretis), sedangkan moral beradadalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang berkembang dimasyarakat (bersifat praktis).Etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada, sedangkan moral dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai.Etika memandang tingkah laku manusia secara umum, tapi moral dansusila lebih bersifat local dan individual.
Akhlaq yang berdasarkan pada Al Qur’an dan Al Hadis maka akhlaq bersifat mutlak, absolut, dan tidak dapat diubah. Sementara etika, moral, dansusila berdasar pada sesuatu yang berasal dari manusia maka lebih bersifat terbatas dan dapat berubah sesuai tuntutan zaman. 

HUBUNGAN AKHLAK DENGAN ILMU LAINNYA
  1. Hubungan Ilmu Akhlaq dengan Ilmu-ilmu Lainnya
  2. Hubungan antara ilmu akhlak dengan ilmu Tauhid
Hubungan ilmu Akhlak dengan ilmu Tauhid dapai dilhat dari analis berikut ini diantaranya :
  1. Dilihat dari segi obyek pembahasannya yaitu menguraikan masalah Tuhan baik dari segi zat,sifat dan perbuatannya, dengan demikian Ilmu Tauhid akan mengarahkan perbuatan manusia menjadi ikhlas, dan keihlasan itu merupakan salah satu akhlak mulia.
  2. Dilihat dari fungsinya, ilmu Tauhid menghendaki agar seseorang yang bertauhid tidak hanya cukup menghafal rukun iman yang enam dengan dalil-dalilnya saja, tetapi yang terpenting adalah agar orang yang bertauhid itu meniru dan menyontoh terhadap subyek yang terdapat dalam rukun iman itu. Dengan demikian beriman kepada rukun iman yang enam itu akan memberi pengaruh terhadap pembentukan akhlak mulia.
Jadi jelas bahwa ilmu tauhid sangat erat kaitannya dengan pembinaan akhlak yang mulia. Dengan demikian dalam rangka pengembangan Ilmu akhlak, bahan-bahannya dapat digali dari ajaran tauhid dan keimanan tersebut.
  1. Hubungan antara ilmu akhlak dengan ilmu tasawuf
                   
Sebagaimana diketahui bahwa dalam tasawuf masalah ibadah amat menonjol, karena bertasawuf itu pada hakikatnya melakukan serangkaian ibadah seperti shalat, puasa, haji, zikir, dann lain sebagianya, yang semuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkatkan diri kepada Allah, ibadah yang dilakukan dalam rangka bertasawuf itu ternyata erat hubungannya dengan akhlak. Dalam hubungan ini Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, bahwa ibadah dalam islam erat sekali hubungannya dengan pendidikan akhlak. Ibadah dalam Al-qur’an dikaitkan dengan takwa, dan takwa berarti melaksanakan perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, yaitu orang yang berbuat baik dan jauh dari yang tidak baik. Inilah yang dimaksud dengan ajaran amar ma’ruf nahimunkar, mengajakan orang pada kebaikan dan mencegah orang dari hal-hal yang tidak baik. Tegasnya orang yang bertakwa adalah orang yang berakhlak mulia. Harun Nasution lebih lanjut mengatakan, kaum sufilah, terutama yang pelaksanaan ibadahnya membawa kepada paembinaan akhlak mulia dalam diri mereka
  1. Hubungan antara ilmu akhlak dengan ilmu jiwa ( ilmu-nafs )
Ilmu jiwa suatu ilmu yang menyelidiki bekas-bekas jiwa seseorang seperti: pengetahuan, perasaan dan kemauannya, dan dalil bekas dan akibatnya mengambil faidah dari padanya.
Dengan lain perkataan, ilmu jiwa sasarannya meneliti peranan yang dimainkan dalam perilaku manusia. Karenanya dia meneliti tentang suara hati ( dhamir ), Kemauan ( iradah ), daya ingatan, hafalan, dan pengertian, sangkaan yang ringan, ( waham ) dan kecenderungan-kecenderungan
( awathif ) manusia. Itu semua menjadi lapangan kerja jiwa, yang menggerakan manusia untuk berkata dan berbuat. Oleh karena itu ilmu jiwa merupakan muqaddimah yang pokok sebelum mengadakan kajian ilmu akhlak. Dikatakan oleh Prof. ahmad Luthfi”, tanpa dibantu oleh jiwa, orang tidak akan dapat menjabarkan dengan baik tugas ilmu akhlaq”.
  1. Hubungan ilmu Akhlak dengan logika ( ilmu manthiq )
Ilmu manthiq ( logic ) aadalah pengetahuan yang menggariskan qaidah-qaidah dan umdang-undang berpikir, sehingga terpelihara manusia dalam berfikir. Jelasnya ilmu manthiq itu untuk membersikan jiwa dan memperhalusnya supaya dapat berfikir secara baik, mendidik pikiran dan menjaganya agar terhindar dari kekeliruan dalam membuat suatu hukum yang didasarkan kepada pikiran.
Kalau dipandang ilmu manthiq sebagai alat penimbang mengotrol dan neneriksa sesuatu yang berasal dari pikiran, maka dia kuat sekali ikatannya dengan ilmu akhlak dari dua segi:
  1. Ilmu manthik dan ilmu akhlak, masing-masing bertugas sebagai penimbang sesuatu. Kalau ilmu akhlak merumuskan aturan-aturan di mana manusia harus berprilaku sesuai dengan aturan itu, maka ilmu manthiq merumuskan aturan-aturan dimana manusia harus berpikir sesuai dengan aturan yang telah dirumuskan itu.
  2. Ilmu manthiq dan ilmu akhlak keduanya membahas dan meneliti manusia dari segi yang bersifat kejiwaan, dengan catatan, ilmu akhlak menyorot manusia dari segi tingkah lakunya sedang ilmu manthiq menyorot dari segi hasil pikirannya.[3]
Oleh karena itu ilmu manthiq sebagai kunci untuk mengerti filsafat, dalam pengertian, orang yang tidak memahami ilmu manthiq tidak akan bisa memahami filsafat. Ilmu akhlak disebut juga dengan filsafat akhlak, maka orang tidak akan mengerti filsafat akhlak bila tidak mengerti manthiq. Dari uraian diatas dapat disimpulakan bahwa terarah dan baik atau tidak sesuai prilaku sangat tergantung dan dipengaruhi kepada baik tidaknya dalam berfikir.
  1. Hubungan ilmu Akhlak dengan ilmu aestetika ( ilmu jamal )
Ilmu Aestetika, adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang manusia dari aspek kelazatan-kelazatan yang ditimbulkan oleh sesuatu pemandangan yang indah dalam diri manusia.
Kebanyakan ahli ilmu mengatakan, sangat erat hubungan antara ilmu akhlak dengan ilmu aestetika, tak obahnya laksana hubungan antara paman dengan keponakannya di mana diatasnya bertemu pada satu nasab atau keturunan. Hanya saja kalau ilmu akhlak yang menjadi sasarannya dari segi segi perilaku ( suluk ) maka ilmu aetetika sasarannya dari segi  kelezatan yang obyeknya tetap sama taitu diri manusia.
Allah menyuruh manusia memperhatikan pergantian malam dengan siang dan sesuatu yang diciptakan Allah, baik yang dilangit dan dibumi. Hal ini merupakan sebab yang paling kuat pengaruh kedalam jiwa yang membawa manusia mudah ber-iman kepada Allah. Dengan mengamati
( taammul ) alam semesta yang begitu indah dan kuat serta sedemikian rupa teraturnya menjadi tanda bagi orang yang taqwa.
Dalam surat Yunus ayat: 6, Allah berfirman
Artinya: Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang- orang yang bertakwaArtinya: Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang- orang yang bertakwa
Dari keterangan-keterangan di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa sangat erat hubungan antara ilmu aestetika dengan ilmu akhlak. Orang kalau sudah terbiasa dengan keindahan, maka langkah berikutnya dia akan senag kepada akhlak yang terpuji.
  1. Hubungan ilmu Akhlak dengan ilmu sosiologi ( ilmu ijtima’)
Secara etimologi Sosiologi berasal dari kata “Socius” yang berarti kawan dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan. Jadi sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang berkawan atau didalam arti luas, adalah ilmu pengetahuan yang berobyek hidup bermasyarakat”. Memang banyak pengertian ( ta’rif ) tentang sosiologi tentang, antara lain yang dikemukakan oleh P.J. bouman, Samuel Smith dan Ch. A. Ell wood, tekanannya kepada “masyarakat “, bukan kepada “hidup bermasyarakat”. Kita lebih tepat memakai pengertian yang memuat “hidup bermasyarakat”, karena masyarakat tidak mempunyai arti yang tepat. Ada masyarakat dalam arti luas, ialah kebulatan daripada semua perhubungan didalam hidup bermasyarakat. Sedangkan dalam arti sempit, ialah suatu kelompok manusia yang menjadi tempat hidup bermasyarakat, tidak dalam aspeknya, tetapi dalam berbagai-bagai aspek yang bentuknya tidak tertentu. Masyarakat dalam arti sempit ini tidak mempunyai arti yang tertentu, misalnya: masyarakat mahasiswa, masyarakat pedagang, masyarakat tani dan lain-lain.
Dikatakan Ahmad Amin, bahwa pertalian antara Ilmu Sosiologi dengan Ilmu Akhlak erat sekali. Kalau Ilmu Akhlak yang dikaji tentang prilaku (suluk) ,artinya perbuatan dan tindakan manusia yang ditimbulkan oleh kehendak ,dimana tidak bisa terlepas kepada kajian kehidupan kemasyarakatan yang menjadi kajian Ilmu sosiologi.[4] Hal yang demikian itu dikarenakan manusia tidak mungkin melepaskan diri sebagai makhluk bermasyarakat. Dimanapun seseorang itu hidup , ia tidak bisa memisahkan dirinya lingkungan masyarakat dimana dia berada walaupun kadar pengaruh itu relative sifatnya.
Memang manusia adalah makhluk bersyarikat dan bermasyarakat,saling membutuhkan diantaranya sesamanya. Hal ini jelas sekali bila kita perhatikan firman Allah surat Al-Hujurat ayat : 13 :
  1. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.
7. Hubungan antara akhlak dengan aqidah dan Iman
Sesungguhnya antara akhlak dengan aqidah dan iman terdapat hubungan yang sangat kuat sekali ,karena akhlak yang baik itu sebagai bukti dari keimanan dan akhlak yang buruk sebagai nukti atas lemahnya iman. Semakin sempurna akhlak seseorang muslim berarti semakin kuat imannya. Akhlak yang baik adalah bagian dari amal shaleh yang menambah keimanan dan memiliki bobot yang berat dalam timbangan. Pemiliknya sangat dicintai oleh nabi SAW dan akhlak yang baik adalah satu penyebab masuk jannahnya seseorang


No comments:

Post a Comment