Sunday, December 18, 2016

pengertian maqomat dan ahwal serta tingkatannya



PENGETIAN DAN TAHAPAN MAQAMAT DAN AHWAL

BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATARBELAKANG
Pada dasarnya dalam konsep-konsep maqamat dan ahwal memperkenalkan bagian dari pemahaman tasawuf itu sendiri sebagai dimana dimaknakan suatu perjalanan spiritual suluk. Dalam hal ini, MAQAMAT adalah tempat-tempat sebagai perhentian yang harus dilewati oleh para sufi atau pejalan spiritual sebelum bisa mencapai akhir perjalanan tersebut, baik itu yang disebut ma’rifah, ridha,maupun mahabbah (kecintaan) kepada Allah SWT. Sedangkan yang disebut dengan HAL adalah keadaan-keadaan spiritual sesaat yang dialami oleh para pejalan atau sufi ini ditengah-tengah perjalanan tersebut.
Tujuan yang mendasar dari perkuliahan mata kuliah Tasawuf ini adalah diharapkan agar peserta didik (mahasiswa) dapat memahami apakah pengertian dari Tasawuf tersebut, dan dapat mengetahui pula bagaimana perkembangannya dari dahulu hingga sekarang, serta mampu merasakan manfaat sebenarnya dan tujuan dari mempelajari Tasawuf itu sendiri.
Dan tujuan khusus dalam pembuatan makalah ini diharapkan agar peserta didik (mahasiswa ) tersebut mampu dan mengerti dalam menyebutkan definisi Maqamat dan Ahwal , Maqamat dan Ahwal dimata para tokoh Tasawuf serta sejarah perkembangan Tasawuf.

B.     RUMUSAN MASALAH
  1. Pengertian Maqamat dan Ahwal
  2. Tahapan-Tahapan Maqamat dan Ahwal

C.    TUJUAN PEMBAHASAN
  1. Untuk Mengetahui Pengertian Maqamat dan Ahwal
  2. Untuk Mengetahui Tahapan-Tahapan Maqomah dan Ahwal

                    BAB II
PEMBAHASAN

A.  PENGERTIAN AL MAQAMAT DAN AL AHWAL
1)      Pengertian Maqamat
Secara harfiah Maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat kepada Allah.[1]
Dalam bahasa inggris Maqamat dikenal dengan istilah stages yang artinya tangga. Sedangkan dalam ilmu tasawuf maqamat berarti keddudukan hamba dalam pandangan Allah berdasarkan apa yang telah diusahakan, baik melalui Riyadhah, Ibadah, maupun mujahadah.[2]
2)      Pengertian Ahwal
Secara Bahasa Al Ahwal merupakan jamak dari kata tunggal ha}l yang berarti keadaan atau sesuatu (keadaan rohani), menurut syekh Abu Nash As-sarraj, ha}l adalah sesuatu yang terjadi yang mendadak yang bertempat pada hati nurani dan tidak bertahan lama.[3]
Menurut harun nasution, dalam Bukunya abuddin Nata Akhlak Tasawuf. Hal atau akhwal merupakan keadaan mental perasaan senang, perasaan takut, perasaan sedih, dan sebagainya.[4]
Sedangkan Menurut imam al Ghozali dalam Bukunya Tim Penyusun MKD Iain Sunan Ampel Surabaya. menerangkan bahwa, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugrahkan Allah kepada seorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.[5]
Pada Istilah Maqam atau arti jamak adalah maqamat , sebagaimana juga ahwal, yang dipahami berbeda menurut para sufi. Namun semuanya sepakat dalam memahami maqamat yang berarti kedudukan seorang pejalan spiritual atau sufi di hadapan ALLAH yang diperoleh melalui kerja keras dalam beribadah kepadaNya, bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu (mujahadah), serta latihan-latihan keruhanian budi-pekerti (adab) yang dapat membuatnya memiliki syarat - syarat dalam melakukan usaha - usaha untuk menjalankan berbagai kewajiban dengan baik dan mendekati sempurna.
Sedangkan hal atau arti jamak adalah ahwal adalah suasana atau keadaan yang menyelimuti kalbu, yang diciptakan sebagai hak prerogatif pada Allah dalam hati setiap hambanNya, tidak ada sufi yang mampu merubah keadaan tersebut apabila datang saatnya, atau memperhatikannya apabila pergi.
Meskipun pengertian dari Maqamat dan Ahwal ini pada dasarnya merupakan suatu kesepakatan atau persetujuan para kaum sufi, Mereka tentu saja adalah hasil ijtihad dan juga bukan dari bagian kepastian-kepastian dalam aturan Islam qath’iyyat. Karena hal itu, bukan hanya merupakan pengertian yang tidak dijumpai di kalangan di luar materi tasawuf, bahkan para sufi masing – masing berbeda-beda dalam perinciannya.
Intinya adalah, macam-macam pengertian ini diperkenalkan dengan maksud sebagai bagian dari pentingnya disiplin dalam tasawuf, yang tujuan perjalanan spiritual , baik itu pemahaman tentang Allah, keridhaanNya, Cinta-Nya dapat dicapai dengan demikian, kesimpulan yang ditarik oleh para sufi berdasarkan pemahaman mereka tentang konsep-konsep yang menyusun urut-urutan dan macam-macam maqamat dan ahwal dan atau berdasarkan pengalaman yang mereka jalani sendiri ketika menempuh jalan spiritual. Dengan demikian, tidak semua pejalan spiritual harus mengikuti, menjalani, atau mengalami maqamat dan ahwal persis sebagaimana disebutkan oleh para sufi itu untuk dapat mencapai tujuan perjalanan spiritual. Yang pasti, dibutuhkan kualifikasi-kualifikasi spiritual yang terkait dengan keadaan hati dan ketinggian akhlak untuk meraih hal itu. Dan semuanya itu diyakini dibutuhkan upaya keras dan bersungguh-sungguh dalam melawan hawa nafsu mujahadah serta latihan-latihan keruhanian riyadhah

B.  Maqamat dan Ahwal dalam Tasawuf,
1)      Macam-Macam Maqamat
Tentang beberapa jumlah tangga (maqamat) yang harus ditempuh, para sufi sama pendapatnya, sebagaimana pendapat Muhammad al Kalabazy, yang dikutib harun Nasution dalam bukunya Abuddin Nata, mengatakan bahwa jumlah maqamat itu ada 10 yaitu, al taubah, al zuhud, al shabr, al faqr, al tawadlu’, al taqwa, al tawakal, al ridla, al mahabba dan al ma’rifah.[6]
sedangkan menurut Imam al Ghozali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, yang dikutib oleh Tim Penyusun MKD Iain Sunan Ampel Surabaya, maqamat terdiri atas 8 tingkatan yaitu: taubat, sabar, zuhud, tawakal, mahabbah, ridha, dan ma’rifat. Menurut menurut As-Sarraj ath-Thusi, maqomah terdiri dari tujuh tingkatan, Yaitu Taubat, Wara’, Zuhud, Faqr, Sabar, Ridha Dan Tawaka. Penjelasan semua tingkatan itu sebagaimana berikut:
(1)   Taubat
Taubat dalam bahasa arab yang berarti “kembali” atau “kembali”, sedangkan taubat bagi kalangan sufi memohon ampunan atas segala dosa yang disertai dengan penyesalan dan berjanji dengan sunguh-sunguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah.[7]
Berkaitan dengan maqam taubat, dalam al qur’an terdapat banyak ayat yang menjelaskan masalah ini. Yaitu firman Allah (Q.S. Ali Imran, 3:135) dan (Q.S An nur, 24:31)
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ÇÌÊÈ
... Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (Q.S An nur, 24:31)[8]

(2)   Wara’
Secara harfiah al wara’ artinya soleh, kata wara’ mengadung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dalam pengertian sufi wal wara’ adalah meninggalkan yang didalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (Syubhat). Ini sejalan dengan (H.R. Bukhori),
“barang siapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia telah bebas dari yang haram”.[9]

(3)    Zuhud
Secara harfiah zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian. Zuhud termasuk salah satu ajaran agama yang sangat penting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia.
Kehidupan yang sederhana yang di comtohkan Rosulullah, Khulafaur Rosidin maupun para sahabat lainya terutama ashabussuffah dengan kondisi merka serba kekurangan tetap mampu menjaga kehormatan dengan tidak meminta, sehingga Allah mengutuk hati kaum muslimin untuk memberikan kepada mereka nafkah.[10]
(4)   Faqr
Faqr dapat berarti sebagian kekurangan harta dalam menjalani kehidupan di dunia. Sikap faqr penting dimiliki oleh orang yang berjalan di jalan Allah,karena kekayaan atau kebanyakan harta memungkinkan manusia lebih dekat pada kejahatan, dan sekurang-kurangnya membuat jiwa tertambat pada selain Allah. Faqr adalah orang yang tidak butuh dunia hanya mementingkan akhirat. Secara harfiah Faqr biasa diartikan sebagai orang yang tidak butuh dunia.[11]
(5)   Al Ridha
Secara harfiah ridho, suka. Harun nasusution mengatakan ridho, tidak menentang kada dan kadar Allah. Manusia biasanya suka menerima keadaan yang menimpa seperti miskin, kerugian. Kehilangan.
disini maqomat dalam sikap ridho melatih diri kita untuk menerima keadaan kita. Bagaimanapun itu. Sebagimana hadits qudsi, nabi mengaskan. “sungguh aku ini Allah. Tiada tuhan selain Aku. Barang siapa yang tidak sabar atas coba’an-Ku, tidak berssyukur atas nikmat-Ku Serta tidak rela atas keputusan-Ku maka ia keluar dari kolong langit dan cari tuhan selain aku.[12]
(6)   Sabar
Dalam kalangan sufi sabar diartikan sebagai sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, dan menjauhi segala larangan Allah, dan menerima segala cobaan yang ditimpanya, dsb.
Sebagaiman dalam firman Allah  (Q.S. Al Nahl, 16:127), dan (Q.S. al-Ahqof, 46:35)Yang berbunyi:
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ...  ÇÌÎÈ  
Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. (Q.S. al-Ahqof, 46:35)[13]

(7)   Tawakal
al Qusyairi mengatakan bahwa tawakal tempatnya dalam hati, dan timbulnya gerak dalam perbuatan tidak mengubah tawakal yang terdapat dalam hati itu.
Pengertian yang demikian itu sejalan pula dengan pengertian Harun Nasution, ia mengatakan tawakal adalah menyerahkan kepada ketetapan tuhan, selamanya dalam keadaan tentram. Jika dapat pemberian berterima kasih, bila mendapat apa-apa bersikap bersabar  dan menyerahkan kepada qodho dan qhodar-NYA Allah.[14]
2)      Ahwal dalam Tasawuf
Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi diatas, maka ahwal tidak ada perbedaan, yang pada intinya ahwal adalah keadaan rohani seseorang hamba ketika hatinya telah bersih dan suci. Ahwal berbeda dengan maqam, ahwal tidak menentu datangya, terkadang datang dan pergi begitu cepat, yang disebut lawaih dan ada pula datang dan perginya dalam waktu yang lama, yang disebut bawadih, jika maqam di proleh melalui usaha, sedangkan ahwal diperoleh tidak melalui usaha, akan tetapi rahmat dan anugrah dari Allah. Maqam sifatnya permanen, sedangkan hal sifatnya temporer.
Dalam penentuan hal juga terdapat perbedaan pendapat dikalangan kaum sufi. Adapun akhwal yang paling banyak disepakati adalah; al-muroqobah, al-khauf, ar-raja’, ath-thuma’minah, al musyahadah dan al yaqin.[15]
(1)   al-muroqobah
Muraqabah artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Sesungguhnya manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya.
Kehati-hatian (mawas diri) adalah kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya.
Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, “Jalan kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian. Pertama, hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari”.[16]
(2)   al-khauf
Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdianya. Takut dan kawatir kalau Allah tidak senang kepadanya. Menurut Ghozali Khauf adalah rasa sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak disenagi dimasa sekarang.
Menurut al Ghozali Khauf terdiri dari tiga tingkatan atau tiga derajat, diantaranya adalah:
a.    Tingkatan Qashir (pendek), Yaitu khauf seperti kelembutan perasaan yang dimiliki wanita, perasaan ini seringkali dirasakan tatkala mendengarkan ayat-ayat Allah dibaca.
b.    Tingkatan Mufrith (yang berlebihan), yaitu khauf yang sangat kuat dan melewati batas kewajaran dan menyebabkan kelemahan dan putus asa, khauf tingkat ini menyebabkan hilangya kendali akal dan bahkan kematian, khauf ini dicela karena karena membuat manusia tidak bisa beramal.
c.    Tingkatan Mu’tadil (sedang), yaitu tingkatan yang sangat terpuji, ia berada pada khauf qashir dan mufrith.[17]
(3)   ar-raja’
Menurut kalangan kaum sufi, raja’ dan khauf berjalan seimbang dan saling mempengaruhi. Raja’ dapat berarti berharap atau optimisme, yaitu peresaan senang hati menaati sesuatu yang diinginkan dan disenangi.
Orang yang harapan dan penantiannya mendorongnya untuk berbuat ketaatan dan mencegahnya dari kemaksiatan, berarti harapan benar. Sebaliknya, jika harapannya hanya angan-angan, sementara ia sendiri tenggelam dalam lembah kemaksiatan, harapannya sia-sia.
Raja’ menuntut tiga perkara, yaitu:
a. Cinta kepada apa yang diharapkannya.
b. Takut bila harapannya hilang.
c. Berusaha untuk mencapainya.
Raja’ yang tidak di barengi dengan tiga perkara itu hanyalah ilusi atau hayalan. Setiap orang yang berharap adalah juga orang yang takut (khauf). Orang yang berharap untuk sampai di suatu tempat tepat waktunya, tentu ia takut terlambat. Dan karena takut terlambat, ia mempercepat jalannya. Begitu pula orangyang berharap rida atau ampunan Tuhan, diiringi dengan rasa tahut akan siksaan Tuhan.
(4)   ath-thuma’minah
Thuma’minah adalah rasa tenang, tidak was-was atau khawatir. Seseorang yang telahmencapai thuma’minah, ia telah kuat akalnya, kuat imanya dan ilmunya serta bersih ingatanya.
Thuma’minah dibagi menajadi tingkatan. Pertama, ketenagan bagi kaum awan. Kedua ketenangan bagi orang yang khusus. Ketiga ketenangan bagi orang-orang yang paling khsuus.[18]
(5)   Al Usn
Dalam pandangan sufi Usn adalah sifat merasa selalu berteman, tak pernah merasa sepi, dalam keadaan sperti ini sufi merasa tidak ada yang dirasakan, tidak ada yang di ingat, kecuali Allah.
Seseorang yang merasakan Ush dibedakan menjadi tiga kondisi. Pertama, hamba yang suka merasakan suka cita berzikir menginggat Allah dan merasakan gelisa disaat lalai. Kedua seorang hamba yang senang dengan Allah dan gelisah terhadap bisikan hati, dsb. Ketiga, yaitu kondisi yang tidak melihat lagi suka cita karena adanya wibawa kedekatan kemuliaan dan mengagungkan disertai dengan suka cita.[19]
(6)   al musyahada
Musyahadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata kepala. Seorang sufi bila sudah mencapai musyahadah apabila sudah bisa merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah berada dalam hatinya dan seorang sudah tidak menyadari segala apa yang telah terjadi, segalanya tercurah pada yang satu yaitu Allah. Dalam keadaan seperti itu seorang sufi memasuki tingkatan ma’rifat, dimana seorang sufi seakan akan menyaksikan Allah dan melalui persaksiannya tersebut maka timbul rasa cinta kasih.[20]













No comments:

Post a Comment